Middle income trap adalah suatu kondisi
dimana negara telah berhasil keluar dari zona negara berpenghasilan rendah
namun tidak mampu melangkah ke zona negara berpenghasilan tinggi. Fenomena
Middle Income Trap merupakan momok bagi negara berkembang karena pada kondisi
ini, perekonomian suatu negara akan tetap tumbuh secara fluktuatif namun tidak akan
bisa mencapai kondisi perekonomian negara maju. Kondisi Middle Income Trap
merupakan situasi dimana perekonomian akan stagnan dengan pendapatan saat ini,
tanpa mampu bergerak menjadi negara dengan pendapatan tinggi, tetap bergantung
dengan sumber daya alam, dan tidak mampu menjadi negara maju dengan basis
industri yang kuat dan modern.
Beberapa negara Amerika Latin telah
gagal mencapai tingkat perekonomian dengan pendapatan yang tinggi dalam
beberapa dekade sebelumnya. Sebaliknya justru beberapa negara di Asia Timur,
dalam dekade baru-baru ini berhasil mencapai kesuksesan untuk keluar dari
perangkap pendapatan menengah. Dua negara yang dikenal memiliki sejarah Middle
Income Trap yang panjang adalah Yunani dan Argentina. Argentina setidaknya
harus terjebak di zona Middle Income Trap selama 40 tahun semenjak masuk ke
zona negara menengah pada 1970 sebelum akhirnya masuk kategori negara
berpenghasilan tinggi pada 2010 silam. Begitu pun Yunani, yang memerlukan waktu
hampir 28 tahun sebelum akhirnya masuk pada golongan negara berpenghasilan
tinggi.
Setelah meraih pertumbuhan ekonomi yang
cukup signifikan, banyak negara di Asia telah naik status masuk kedalam
kelompok negara berpenghasilan menengah (Middle Income Countries atau MIC), seperti
Filipina, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Laos dan Indonesia. Sementara
itu, beberapa negara di kawasan Asia Timur saat ini sudah masuk ke dalam
kelompok High Income Countries (HIC) seperti Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan
dan Singapura. Pergeseran dari status negara berpenghasilan rendah menjadi
menengah, akan serta merta memberikan dampak yang cepat kepada jumlah total
agregat permintaan dan penawaran pada negara tersebut (Carnovale, 2012).
Menurut Jesus Felipe (2012: 4), Indonesia dan Pakistan berada pada titik rawan
yang penuh resiko untuk terjebak dalam Middle Income Trap, sedangkan Cina mampu
menghindari jebakan tersebut.
Menurut Yuswohadi (2012), negara-negara
tersebut bisa stuck in the middle karena setelah masuk menjadi negara
berpendapatan menengah mereka merasa nyaman dan tak cukup membangun SDM dan
berinovasi untuk menghasilkan produk-produk dengan kandungan teknologi yang
semakin tinggi. Pada saat negara tersebut masih miskin mereka bisa memanfaatkan
kemiskinannya untuk membangun daya saing melalui upah buruh yang rendah. Jadi
negara-negara tersebut memacu perkembangan industri manufaktur berupah buruh
rendah (labor-intensive manufacturing) seperti tekstil atau sepatu untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Perkembangan pesat industri macam ini akan
mendorong terciptanya lapangan kerja dan pada gilirannya akan mendorong tingkat
pendapatan masyarakat.
Tapi industri manufaktur berbasis upah
buruh murah ini tidak sustainable. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, maka
ongkos upah buruh pun akan meningkat. Kalau ini terjadi maka produk-produk yang
dihasilkan berbagai industri tersebut tidak lagi kompetitif di pasar
internasional. Kalau tidak kompetitif, maka industri-industri tersebut tak
mampu berkembang, akibatnya pertumbuhan ekonomi negara menjadi terkendala.
Untuk bisa naik kelas menjadi negara
maju baru dan terhindar dari middle-income trap, maka mau tak mau negara-negara
tersebut harus berinovasi dan mengelola SDM/modal menjadi lebih produktif.
Mereka harus membangun kemampuan R&D dan mempekerjakan SDM yang berkualitas
(highly educated & skilled worker). Untuk lolos dari middle-income trap,
kemajuan negara harus didukung “otak“, bukan sekedar “otot”. Korea Selatan
adalah contoh negara yang sukses keluar dari middle-income trap dengan
mengembangkan kemampuan R&D dan SDM. Perusahaan-perusahaan seperti Samsung,
LG, Hyundai adalah perusahaan yang memiliki kemampuan teknologi yang sangat
baik sehingga produknya tetap kompetitif di pasar internasional.
Pada level tertentu, negara
berpendapatan menengah akan menjadi tidak kompetitif pada sektor value added
industries, seperti manufaktur. Industri padat karya akan mulai berpindah ke
negara dengan upah rendah sehingga pertumbuhan ekonomi pada negara tersebut akan
cenderung stagnan atau bahkan menurun. Negara berpenghasilan menengah (MIC)
tidak hanya mengalami kesulitan untuk bersaing dengan low-wage countries, tapi
juga kesulitan untuk bersaing dengan high-technology countries.
Terdapat beberapa faktor yang umumnya
menyebabkan suatu negara masuk kedalam MIT. Beberapa studi menyebutkan bahwa
faktor rendahnya dukungan infrastruktur, ketidakberdayaan membangun kemandirian
pangan serta perlindungan sosial merupakan faktor penyebab selain tentunya
faktor Sumber Daya Manusia (SDM), birokrasi, dan supremasi hukum yang juga
menjadi faktor penentu.
Meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi
Indonesia cukup tinggi dibanding negara-negara lain, namun industri nasional
belum berkembang sebagaimana mestinya. Sebagian besar perekonomian masih
disumbang oleh bahan mentah dari komoditas perkebunan dan kehutanan, sementara
industri olahan belum seperti yang diharapkan. Belum lagi institusi
pemerintahan yang terus digerogoti penyakit korupsi, juga tiadanya strategi
jangka panjang untuk menjadikan perekonomian Indonesia lebih tangguh di masa
mendatang.
Situasi Indonesia yang tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi pada Argentina beberapa puluh tahun,
menimbulkan kekhawatiran Indonesia akan mengalami jebakan negara berpendapatan
menengah (middle-income trap). Indonesia saat ini masih berada di zona negara
berkembang selama kurang lebih 12 tahun. Kekhawatiran pun muncul ketika
pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi turun. Hal itu merupakan gejala bahaya
bagi negara berkembang karena meskipun perekonomian tumbuh, namun berada di
bawah batas ideal pertumbuhan ekonomi negara berkembang yakni di kisaran 6%.
Pemangkasan prediksi tersebut menurut para ekonom karena ekspor yang mulai
lesu.
Banyak negara yang bisa dijadikan
teladan bagi Indonesia dalam keluar dari ancaman zona Middle Income Trap ini.
Salah satunya adalah Korea Selatan. Negara tersebut telah melakukan
transformasi yang luar biasa dari salah satu negara termiskin di dunia menjadi
negara menengah dan akhirnya masuk pada kategori negara maju hanya dalam waktu
50 tahun. Strategi yang ditempuh Korea Selatan sangatlah unik. Korea Selatan berfokus untuk
mendorong sektor spesifik yang berpotensi sebagai kekuatan ekonomi negaranya,
yakni sektor teknologi otomotif, elektronik, serta barang mewah lainnya. Meskipun
berfokus pada sektor tersebut, Korea Selatan tidak lantas mengabaikan sektor
publik yang lain. Korea Selatan tetap memperhatikan sektor lain agar tetap
tumbuh meskipun cenderung stagnan.
Negara lain yang dapat dijadikan contoh
bagi Indonesia dalam rangka keluar dari jebakan Middle Income Trap adalah
China. Selama beberapa dekade, ekonomi China tumbuh layaknya negara berkembang
pada umumnya. Namun kemudian strategi ditempuh oleh menteri keuangannya berupa
pengalihan sektor subsidi bagi pertanian ke sektor manufaktur. Hal itu terbukti
ampuh karena mendorong terjadinya industrialisasi sehingga bisa menekan biaya
produksi yang berimbas pada nilai ekspor yang meningkat. Kemudian menteri
keuangan. Cara tersebut terbukti ampuh menempatkan China dalam salah satu
negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang tinggi, mencapai 7.5%
setiap tahunnya.
Menurut Erani Yustika (2014: 3-4)
definisi jebakan negara pendapatan menengah dikeluarkan Bank Dunia dengan dua
alasan. Pertama, negara yang tidak mampu keluar dari pendapatan menengah
memiliki potensi menjadi negara otoritarian. Kedua, guna menjadi negara yang
tangguh terhadap hantaman krisis dibutuhkan tingkat pendapatan berkisar USD
6.000 – USD 7.000. Oleh karena itu, negara-negara emerging seperti Indonesia harus
keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai tingkat
pendapatan USD 6.000 – USD 7.000. Alasannya dengan tingkat pendapatan tersebut,
ada potensi tabungan baik ekonomi skala rumah tangga maupun dalam skala yang
lebih besar. Sementara pendapatan perkapita penduduk Indonesia saat ini
dikisaran USD 4.000, masih jauh dari yang diharapkan.
Meskipun makro ekonomi Indonesia
relatif kuat dibanding negara-negara lain terutama anggota G20 seperti difisit
neraca fiskal kurang dari 2%, rasio utang di bawah 30%, dan transaksi berjalan
2,8% dari total PDB di tahun 2013, namun fundamental ekonomi Indonesia masih
rapuh. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi paling besar terhadap PDB adakah
sektor tersier yang kurang menyerap tenaga kerja. Sementara sektor yang
penyerapann tenaga kerja tinggi seperti pertanian dan industri olahan semakin
terpuruk. Kinerja ekspor melemah dibandingkan impor sehingga mengakibatkan
difisit neraca berjalan, dan rendahnya kualitas manusia yang menimbulkan
permasalahan serius antara lain produktivitas rendah dan kurangnya inovasi
dalam perekonomian.
Oleh karena itu, masalah terpenting
bagi Indonesia bukanlah meningkatkan pendapatan per kapita secara cepat. Namun
perlunya Indonesia menyusun dasar-dasar ekonomi yang kokoh melalui formasi aset
yang merata, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan dan
kesehatan, serta meningkatkan kemampuan inovasi dan penguasaan tekhnologi.
Salah satu prasyarat utama agar
Indonesia dapat bermigrasi ke negara dengan klasifikasi pendapatan tinggi
adalah kuatnya kapabilitas industri. Industri yang kuat akan secara langsung
memperbaiki struktur neraca perdagangan dan pola penyerapan tenaga kerja yang
pada akhirnya akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita (Bank Indonesia,
2013). Selama beberapa kurun waktu terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia telah
menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara dengan rata-rata 6% per
tahun selama periode 2009 s.d. 2013, inflasi juga dapat dikendalikan pada level
rata-rata 6% s.d. 7%. Selain itu, dua lembaga credit rating agencies juga telah
meningkatkan level Indonesia menjadi investment-grade level. Namun demikian,
banyak pihak menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik tersebut hanya
dikendalikan oleh sektor jasa dan komoditas, tidak melalui sektor manufaktur.
Menurut Dhani Setyawan (2014: 2-3),
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk beralih menjadi HIC, karena
didukung oleh beberapa faktor seperti fundamental ekonomi yang baik, Sumber
Daya Alam (SDA) yang berlimpah dan juga jumlah populasi penduduk yang besar.
Secara demografis Indonesia didukung oleh tingginya jumlah kelompok usia kerja
yang dapat berkontribusi bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data Bank
Dunia, lebih dari 60% total populasi penduduk Indonesia berusia dibawah 39
tahun, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk usia
produktif yang signifikan. Studi Bank Dunia menyebutkan bahwa pola demografi
dengan banyaknya jumlah proporsi penduduk usia kerja yang signifikan memberikan
sejumlah demografic dividend bagi Indonesia karena faktor tersebut dapat
membantu kinerja perekonomian. Namun demikian, disebutkan juga bahwa Indonesia
tidak akan bisa melompat menjadi HIC apabila hanya bergantung kepada SDA dan
murahnya harga tenaga kerja.
Pertumbuhan Indonesia sangat
menjanjikan, namun tidak bisa dipungkiri terdapat beberapa faktor risiko yang
bisa menempatkan Indonesia ke dalam perangkap pendapatan menengah. Untuk itu,
pemerintahan Indonesia perlu memperbaiki sistem ekonomi yang sudah berjalan.
Para pembuat kebijakan harus bisa melakukan transformasi struktural dan
memunculkan berbagai inovasi guna memperoleh manfaat yang optimal dari sumber
pertumbuhan yang ada saat ini. Indonesia tidak bisa lagi hanya bergantung
kepada SDA serta tenaga kerja murah, karena pada tingkatan tertentu spillover
effect dari sumber pertumbuhan tersebut akan habis. Peningkatan kapasitas dan
kompetensi SDM melalui pembangunan sistem pendidikan menengah dan tersier untuk
menghasilkan SDM terampil dan profesional.
Masih menurut Dhani (2014: 3-4)
Berbagai studi menyebutkan bahwa buruknya infrastruktur Indonesia merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan high cost economy dimana industri harus
menanggung beban biaya logistik yang sangat besar. Infrastruktur dapat
dikatakan sebagai lokomotif penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional. Perbaikan di sektor infrastruktur tentunya dapat mendorong minat
investasi asing dan domestik. Keberadaan infrastruktur yang memadai akan
berkontribusi kepada kelancaran distribusi barang dan jasa antarwilayah, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat, mengurangi angka
kemiskinan dan mewujudkan stabilisasi makro ekonomi dan yang terpenting lagi
dapat menghindarkan Indonesia dari perangkap pendapatan menengah.
Namun menurut BIN (Badan Inteligen
Negara) dalam buku yang dikeluarkan instansi tersebut Menyongsong 2014-2019 menyatakan bahwa Laporan Bank Pembangunan
Asia (ADB) yang bertajuk The Rise of
Asia’s Middle Class menunjukkan geliat kelas menengah Indonesia yang
bertumbuh pesat. Bahkan, dalam laporan Bank Dunia ‘Global Development Horizon 2011 – Multipolarity: The New Global
Economy’, menempatkan Indonesia bersama sama dengan China, India, Korea
Selatan, dan Brazil, sebagai episentrum pertumbuhan global dengan estimasi
sebagian pertumbuhan global disumbangkan oleh keenam negara tersebut pada 2025.
Pertumbuhan kelas menengah Indonesia
ini diperkirakan akan berlanjut hingga akhir periode Bonus Demografi pada 2040,
saat struktur Demografi Indonesia didominasi oleh usia produktif, sementara
dependency ratio atau persentase penduduk lanjut usia dan anak-anak semakin
menurun. Kinerja perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari rasio utang
terhadap pendapatan atau Produk Domestik Bruto (PDB) yang dalam dekade terakhir
dapat ditekan menuju level yang relatif stabil. Tahun 2001 rasio utang terhadap
PDB sebesar 83 persen, menurun terus hingga 24 persen pada 2012. Rasio ini
merupakan rasio utang yang sangat stabil di tengah rasio utang negara-negara
kawasan Eropa, Jepang, Amerika yang mendekati 100 persen. Beberapa negara
bahkan memiliki rasio utang di atas 100 persen. Dampak krisis utang zona Eropa
yang berkepanjangan terhadap Indonesia relatif minim mengingat struktur ekonomi
domestik relatif kuat ditopang oleh konsumsi domestik. Di sisi lain, upaya
diversifikasi tujuan ekspor juga digalakkan dengan menyasar pasar-pasar
nontradisional sebagai pasar tujuan ekspor utama.
Tantangan nyata ekonomi Indonesia
kedepan adalah menembus tingkat pendapatan 6.000 dolar AS per kapita. Nilai
tersebut yang dipandang sebagai batas bawah stabilitas politik melalui
demokrasi, sedangkan stabilitas tersebut juga diperlukan untuk menjamin
kemajuan ekonomi ke tahap berikutnya. Bauran strategi yang dijalankan secara
serentak dan saling terintegrasi sungguh diperlukan. Apalagi para ekonom dunia
juga mengingatkan bahwa krisis Eropa meyakinkan bahwa teori, konsep, serta
paham ekonomi yang ada sekarang sudah kedaluwarsa untuk menjawab persoalan
nyata. Dunia tidak lagi memerlukan teori besar ekonomi atau pendekatan tunggal
karena terbukti tidak efektif, yang lebih diperlukan dunia adalah belajar dari
pengalaman nyata negara-negara lain yang lebih berhasil menjalankan pembangunan
ekonominya.
Bagi Indonesia, di antaranya adalah
belajar dari Thailand yang mampu menjadikan pertanian dan perikanan sebagai
salah satu ujung tombak perekonomiannya; belajar dari Korea Selatan yang tumbuh
dari negara miskin menjadi negara industri yang kuat; juga belajar dari China
yang tetap merendah meskipun beberapa tahun mendatang hampir pasti bakal
menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia menggusur Amerika Serikat. Para
ekonom dan pejabat China selalu serempak menyebut bahwa langkah China masih
sangat panjang untuk dapat menyejahterakan semua penduduk. Warga China masih
jauh dari sejahtera dibanding warga dari banyak negara lain. Pada akhirnya,
ukuran sebenarnya hasil pembangunan ekonomi adalah seberapa sejahtera seluruh
warganya sebagaimana ditunjukkan oleh nilai Indeks Pembangunan Manusianya, dan
bukan ukuran lainnya.
Ada Beberapa hal yang perlu dilakukan
agar Indonesia bisa keluar dari Middle Income Trap antara lain Pertama,
meningkatkan tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan yang tinggi dapat mendorong tingkat kreatifitas dan
mendukung terobosan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapakan
dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi dapat menciptakan teknologi yang
mendukung terwujudnya negara industri. Dengan mekanisasi di sektor industri,
diharapkan dapat menurunkan biaya upah pegawai sekaligus meningkatkan produktifitas produksi. Jumlah ekspor meningkat sedangkan biaya ekspor bisa
ditekan.
Kedua, mendukung terwujudnya start-up
dan mendorongnya sebagai kekuatan ekonomi yang baru. Mungkin kita bisa berkaca
pada Korea Selatan yang memiliki kekuatan di Industri elektronik berkat Samsung
dan LG, dan di sektor otomotif berkat Hyundai, Indonesia juga perlu memberikan
dukungan pada start-up agar suatu saat bisa menjadi kekuatan ekonomi baru.
Pemilihan start-up harus berada pada sektor strategis bangsa, seperti sektor
pertanian dan pertambangan.
Ketiga, perbaikan infrastruktur. Dengan
dukungan infrastruktur yang baik, maka kegiatan perekonomian di masyarakat
dapat meningkat dan arus perekonomian juga semakin lancar. Dengan infrastruktur
yang baik, diharapkan investor asing akan menanamkan modalnya di Indonesia yang
kemudian bisa meningkatkan perekonomian negara.
Keempat, mengalihkan subsidi ke sektor
penting. Pada tahun 2014, sekitar 457 Trilliun dari total APBN Indonesia
dialihkan ke sektor yang dianggap sia sia, yakni hanya untuk mensubsidi BBM.
Angka itu sangatlah besar karena mencapai 22% dari total APBN Indonesia.
Seharusnya, biaya tersebut dapat dialokasikan ke sektor lain yang lebih
potensial seperti pertanian, industri, atau sektor lain yang dianggap sebagai
sektor andalan.
References
BIN. (2014). Menyongsong 2014-2019: Memperkuat Indonesia dalam dunia yang
berubah. Jakarta
Jesus Felipe, dkk. (2012). Tracking the Middle-income Trap: What Is It, Who Is in It, and Why?. ADB Economics Working Paper Series No. 306
Shekhar Aiyar, dkk. (2013). Growth Slowdowns and the Middle-Income Trap. IMF
Working Paper
Dhani Setyawan. (2014). Indonesia Dalam Bayang-Bayang Middle
Income Trap. www.kemenkeu.co.id/Artikel
Education World. (2015). Indonesia Dalam Middle Income Trap.
Maria Carnovale, (2012). Developing
Countries and the Middle-Income Trap: Predetermined to Fall?. New York University
Bank
Indonesia, (2013). Kajian Ekonomi dan
Keuangan Regional. Laporan Nusantara, Volume 8 Nomor 3