Selamat Datang !!

Mirza Adany Muktasim

Minggu, 24 Oktober 2010

Desentralisasi Fiskal

Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Nasional
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi pemerintahan yang desentralistis. Sasaran ekonomi makro dan sasaran sektoral pembangunan nasional sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi makro, neraca pembayaran, ketenagakerjaan dan kemiskinan. Dalam banyak kesempatan pemerintah selalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ketenaga-kerjaan/pengangguran dan kemiskinan yang populer disebut triple track strategy (pro growth, pro job dan pro poor). Untuk mencapai hal tersebut salah satu caranya adalah melalui kebijakan pengalokasian anggaran yang digambarkan dalam pengeluaran pemerintah baik APBN maupun APBD.
Desentralisasi fiskal telah berjalan kurang lebih sembilan tahun sejak di berlakukan secara efektif pada tahun 2001. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketenagakerjaan di Indonesia serta bagaimana kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparno dari IPB Bogor menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah (yang diukur dari derajat desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah) masih rendah. Justru di era desentralisasi, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin meningkat.
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah di Indonesia adalah modal swasta (K), modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil (BH), dana alokasi khusus (DAK), pajak daerah (PD), retribusi daerah (RD), dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah (LD), tenaga kerja (L), tingkat keterbukaan daerah (XM) dan variabel dummy otonomi daerah.
Variabel modal dari swasta (K) signifikan dengan nilai elastisitas 0,009. Peningkatan peran sektor swasta untuk berinvestasi mulai meningkat seiring dengan keterbukaan pemerintah dengan membuka kran investasi bagi pemodal swasta asing. Sedangkan variabel fiskal DAK menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai elastisitas sebesar 0,018. Sesuai dengan tujuannya, pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.
Elastisitas bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 0,014. Pengelolaan dana bagi hasil baik pajak dan bukan pajak sebagian diserahkan ke daerah penghasil, hal ini menyebabkan anggaran untuk pembangunan di daerah penghasil menjadi semakin besar sehingga daerah semakin leluasa untuk menjalankanfungsinya untuk meningkatkan penyediaan barang publik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas di daerah tersebut. Sementara variabel Pajak Daerah (PD) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,089%. Scully (1995) dalam Arsal (2004) menyatakan bahwa sampai dengan suatu level tertentu, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah yang kemudian digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dapat membuat keseluruhan sistem perekonomian menjadi lebih produktif.
Variabel retribusi daerah terbukti berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan seiring dengan di mulainya era otonomi daerah, banyak daerah berupaya meningkatkan PAD-nya dengan jalan pintas, menarik retribusi hampir di semua sektor ekonomi tanpa kajian yang matang. Akibatnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga para pelaku ekonomi banyak yang batal ataupun membatasi investasi mereka. Sampai dengan akhir tahun 2006, terdapat sekitar 280 jenis retribusi baru yang ditetapkan oleh daerah.
Nilai elastisitas variabel laba badan usaha milik daerah sebesar 0,01. Seiring semangat demokrasi dewasa ini mendorong pengelolaan BUMD menjadi lebih efisien dan transparan. Sementara itu, peranan tenaga kerja dalam pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia juga sangat signifikan. Bahkan dalam penelitian ini elastisitas peranan tenaga kerja (sebesar 0,58) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan yang terbesar dibanding dengan faktor input yang lain. Sedangkan variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan penjumlahan ekspor dan impor juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Barro (1991), Edward (1992), Harrison (1996) dalam Jin (2000) juga memperlihatkan bahwa tingkat keterbukaan daerah memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Peubah dummy desentralisasi fiskal (D1) menunjukkan nilai elastisitas yang relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun penerapan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal sebagai tulang punggungnya telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil.
Sementara itu, beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka adalah total pengeluaran pemerintah, upah, pendidikan, investasi swasta dan kebijakan desentralisasi fiskal. Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar satu juta rupiah perkapita akan mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,71% di daerah yang bersangkutan, dengan asumsi ceteris paribus. Secara teori, semakin besar anggaran, pemerintah diharapkan dapat mempercepat dan meningkatkan pelayanan publik serta perbaikan infrastrukur. Hal ini akan mendorong bergairahnya investasi sehingga perekonomian di daerah tersebut menjadi semakin maju. Dampak dari hal ini adalah semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian.
Variabel modal swasta (investasi sektor swasta) juga berpengaruh signifikan menurunkan tingkat pengangguran. Investasi swasta yang digunakan untuk membuka usaha di Indonesia akan membutuhkan tenagakerja sehingga akan membuka lapangan kerja. Variabel pendidikan yang diwakili oleh rasio penduduk yang tamat SMA keatas menunjukkan pengaruh yang positif terhadap tingkat pengangguran terbuka di wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan karakteristik orang-orang yang berpendidikan tinggi adalah berkeinginan untuk mendapatkan pekerjaan formal disektor modern dengan upah yang tinggi (Todaro dan Smith, 2006), mereka cenderung memilih-milih pekerjaan yang akan mereka lakukan.
Hasil analisis juga mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan tingkat pengangguran terbuka. Setelah desentralisasi diberlakukan, tingkat pengangguran terbuka bertambah 3,01% dibanding sebelum desentralisasi.
Sementara itu, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah kemiskinan adalah pengeluaran pemerintah, pengangguran, populasi, inflasi, keterbukaan daerah dan kebijakan desentralisasi fiskal. Dari hasil analisis regresi data panel dapat dilihat bahwa peningkatan inflasi sebesar 1% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di propinsi yang bersangkutan sebanyak 6414 jiwa. Peningkatan inflasi akan menyebabkan tingkat harga terutama harga barang kebutuhan pokok melonjak. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga jatuh menjadi miskin.
Demikian juga dengan peningkatan jumlah penduduk/populasi (POP) sebanyak 1000 jiwa di propinsi terkait yang akan menyebabkan kemiskinan meningkat sekitar 144 jiwa. Apabila peningkatan populasi tidak diiringi dengan peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan stok pangan akan menyebabkan penduduk miskin semakin bertambah. Sementara peningkatan pengeluaran pemerintah di daerah sebesar 1 milyar rupiah akan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 153 jiwa. Dampak dari pengeluaran pemerintah untuk peningkatan layanan publik dan perbaikan infrastruktur akan mendorong bergairahnya investasi sehingga semakin banyak orang yang akan terlibat didalam perekonomian sehingga jumlah penduduk yang miskin semakin berkurang.
Peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 1000 orang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 579 orang di wilayah bersangkutan. Bila seseorang menganggur maka ia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pada gilirannya mereka akan hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 milyar rupiah akan mampu mengurangi kemiskinan sebanyak 9 orang. Peningkatan keterbukaan daerah akan menyebabkan ekonomi semakin bergairah yang akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Hasil analisis regresi yang diperoleh sejauh ini mengindikasikan bahwa penerapan desentralisasi fiskal justru memberikan dampak yang bertolak belakang bagi kemiskinan. Kesimpulan ini didukung pula oleh survei iklim investasi yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ketidakpuasan responden terhadap praktek korupsi dan pemungutan liar serta tambahan pungutan dan peraturan daerah yang telah merugikan iklim investasi lokal (Koran Tempo, 10 Mei 2004).
Desentralisasi dan Kesenjangan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dan persebaran yang sangat luas. Terdiri lebih dari 17.000 pulau (dimana 6.000 di antaranya tidak berpenghuni), terentang di tiga zona waktu, dan memiliki segalanya mulai dari hutan tropis, dataran rendah yang subur, sampai dengan pegunungan dataran tinggi. Perjalanan dari ujung paling barat Indonesia (Sabang yang terletak di Aceh) sampai ke ujung paling timur (Merauke di Papua) akan memakan waktu selama lebih dari 10 jam dengan pesawat terbang, dan kareana keterbatasan infrastruktur disebagian wilayah, sangat tidak mungkin perjalanan tersebut ditempuh dalam waktu satu hari. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 250 bahasa yang berbeda di seluruh negara kepulauan ini.
Pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terpadat di dunia dan Irian yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terjarang di dunia, keduanya berada di Indonesia. Jika seluruh wilayah Indonesia memiliki penduduk yang padat seperti Pulau Jawa, jumlah penduduk Indonesia akan berjumlah dua milyar orang dan akan menjadi negara terbesar di dunia. Sebaliknya, jika seluruh pulau Indonesia berpenduduk jarang seperti Papua, maka seluruh penduduk Indonesia hanya akan berjumlah 11 juta (hampir sama dengan Belgia).
Keanekaragamaan dan perbedaan geografis ini tercermin dalam perbedaan kondisi sosial ekonomi yang cukup signifikan. Sementara beberapa bagian wilayah Indonesia memiliki pendapatan seperti negara sangat maju, di bagian lain masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Fasilitas pendidikan di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia sama dengan fasilitas di negara-negara berkembang lainnya, sementara tingkat pendidikan dan kesehatan, terutama di kawasan Indonesia Timur, setara dengan kondisi di sebagian besar negara Afrika.
PDB per kapita daerah sangat bervariasi. Misalnya, PDB per kapita Riau dan Kalimantan Timur, yang merupakan daerah penghasil minyak dan gas, adalah hampir 20 kali lebih tinggi daripada PDB Maluku atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Tingkat PDB per kapita kabupaten/kota dalam satu provinsi juga menunjukkan disparitas yang luas seperti yang ditunjukkan oleh panjangnya kotak horizontal pada Angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Sejumlah kota memiliki tingkat kemiskinan dibawah 3 persen, tapi Kabupaten Manokwari di Irian Jaya Barat dan Kabupaten Puncak Jaya di Papua memiliki tingkat kemiskinan diatas 50 persen.
Indikator Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata untuk Indonesia pada 2002 adalah 0,66. Di tingkat kabupaten/kota, rentang angka IPM bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,47 di Kabupaten Jayawijaya sampai dengan to 0,76 untuk Jakarta Timur.
Perbedaan yang sangat ekstrim ini telah berpengaruh pada penerapan desentralisasi pada tahun 2001, terutama terkait dengan kerangka fiskal. “Dana perimbangan” merupakan unsur utama dari rancang bangun desentralisasi. Hal ini terdiri dari beberapa dana transfer yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan, dalam hal kualitas maupun kuantitas, dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Daerahdaerah penghasil minyak dan gas juga menerima manfaat yang sangat besar, karena sekarang mereka menerima 15,5 persen dari penerimaan migas tersebut.
Pelaksanaan sistem desentralisasi telah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam bentuk wewenang daripada fungsi pemerintah. Sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor-sektor yang wajib ada di tingkat daerah mencakup dinas kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, perhubungan, transportasi, pertanian, industri, dan perdagangan, investasi modal, pertanahan, koperasi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Pemerintah provinsi melakukan koordinasi terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota dan menjalankan sejumlah fungsi yang berpengaruh terhadap lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dalam waktu satu tahun, sebagian besar tanggung jawab layanan masyarakat sudah didesentralisasikan. Proporsi anggaran daerah yang tercakup di belanja pemerintah naik menjadi hampir dua kali lipat, sementara dua pertiga dari pegawai negeri yang ada ditugaskan di daerah dan lebih dari 16.000 fasilitas layanan masyarakat dialihkan ke pemerintah daerah.
Tindakan Dalam Memfungsikan Desentralisasi
A. Menyusun roadmap
Menyusun rencana yang jelas dan menyeluruh mengenai desentralisasi merupakan salah satu prioritas utama yang harus dijalankan. Usaha memperbaiki desentralisasi membutuhkan berbagai perubahan dalam bidang hukum, peraturan dan struktur organisasi, yang dipadukan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip kedua undang-undang yang barus saja disahkan. Penyusunan rencana perubahan dan tindakan yang akan dilakukan dalam sebuah roadmap atau cetak biru desentralisasi, akan memberikan kejelasan dan membantu tahap pelaksanaan.
Roadmap tersebut akan membantu menemukan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah, serta menyeimbangkan kebutuhan akan efisiensi dan pemerataan. Roadmap tersebut sebaiknya disusun berdasarkan konsultasi yang dilakukan dengan pemerintah daerah, DPD, masyarakat sipil dan pihak terkait lainnya. Hal ini penting dilakukan, agar dapat disusun rencana yang jelas, dalam rangka memberikan otonomi lebih luas pada tingkat daerah. Ini juga diharapkan dapat mengarahkan pembagian sumber daya ekonomi secara lebih merata, seperti yang tertera pada pasal 18 Undang Undang Dasar.
B. Menunjuk pihak yang bertanggung jawab
Desentralisasi mencakup berbagai bidang di dalam pemerintah, oleh karena itu diperlukan suatu koordinasi yang sangat baik. Hal tersebut selama ini dirasakan masih sangat kurang. Beberapa kementerian terlihat masih belum dapat mengakomodasi proses desentralisasi ini, sementara kementerian lain seakan-akan kehilangan arah. Beberapa kementerian tertentu bahkan memperlihatkan tendensi yang tidak mendukung berjalannya desentralisasi ini. Beberapa kementerian yang berkait erat dengan proses desentralisasi, telah mencoba mengambil alih tugas koordinasi. Termasuk di dalamnya Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Bappenas. Badan seperti Direktorat Pelaksanaan Otonomi Daerah (DPOD) dan tim Keppres 157 juga telah dibentuk, tetapi tidak diberikan kewenangan yang cukup untuk mengambil berbagai keputusan penting. Hal ini menyebabkan banyak terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan di tingkat nasional serta munculnya kebingungan di tingkat daerah, selain banyaknya duplikasi peraturan yang sebenarnya tidak diperlukan. Revisi UU 22 menyarankan Presiden untuk membentuk satu lembaga baru dibawah Departemen Dalam Negeri dalam mengelola desentralisasi. Tetapi menetapkan salah satu pihak yang terkait di dalam pengelolaan ini, cenderung akan memperkeruh suasana. Oleh karena itu, ada baiknya jika lembaga tersebut berada di bawah kantor Kepresidenan dan diberikan kewenangan khusus dalam mengkoordinasikan pelaksanaan desentralisasi di berbagai bidang pemerintahan. Lembaga ini juga dapat memprakarsai penyusunan roadmap, serta menjaga konsistensi pelaksanaannya di berbagai kementerian teknis.
C. Memperjelas kewenangan
Undang-undang nomor 22 telah menjabarkan tugas dan kewenangan sektoral yang menjadi bagian dari otoritas daerah. Tetapi undang-undang ini tidak menjabarkan lebih lanjut tugas dan kewenangan di dalam masing-masing sektor itu sendiri. Selain itu UU 22 memberikan daftar fungsi-fungsi pemerintahan yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah tingkat dua. Penetapan kewenangan dan tugas yang kurang terperinci, memicu rendahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di dalam masalah perencanaan dan pembiayaan. Hal ini juga ditakutkan dapat menurunkan mutu pelayanan publik, serta tidak tercapainya target nasional dalam rangka memperbaiki berbagai indikator sosial, seperti imunisasi, nilai ujian, dan partisipasi di sekolah. Revisi terhadap UU 22 hanyalah memecahkan sebagian dari masalah yang ada.
Revisi dari UU 22 hanya memuat kriteria umum mengenai pembagian tanggung jawab untuk berbagai tingkat pemerintahan. Langkah selanjutnya adalah memperbarui berbagai undang-undang sektoral untuk menjabarkan wewenang pada tingkat pusat dan menjelaskan fungsi-fungsi wajib pemerintah daerah yang berkait dengan sektor-sektor tersebut. Memang proses revisi berbagai undang-undang tersebut akan membutuhkan waktu yang panjang. Untuk saat ini, peraturan pemerintah mungkin dapat disusun untuk menjabarkan fungsi-fungsi tersebut, sebelum berbagai UU sektoral tadi selesai direvisi. Revisi UU 22 juga mengamanatkan pembuatan standar pelayanan minimum untuk setiap fungsi wajib pemerintah daerah, agar masyarakat dapat mengetahui apa yang mereka dapat harapkan dari pemerintah mereka. Standar minimum ini haruslah realistis dan dapat dilaksanakan. Tentu saja, seiring dengan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah, standar ini dapat ditingkatkan. Mungkin sebagai langkah pertama, standar minimum ini dapat ditetapkan sendiri oleh pemerintah daerah, dengan mengikuti kerangka yang disediakan dalam revisi UU 22. Kemudian standar yang bersifat lebih menyeluruh dapat disusun dalam jangka waktu menengah. Tanggung jawab pemberian layanan publik dapat dipertahankan untuk berada pada tangan pemerintah daerah tingkat dua. Beberapa fungsi lainnya, yang mungkin berkaitan dengan koordinasi perencanaan aktifitas wilayah, dapat dialihkan kepada pemerintah propinsi. Untuk menjamin terlaksananya pembagian wewenang ini, pemberian sumber daya manusia dan keuangan yang lebih besar kepada pemerintah propinsi, patut dipertimbangkan.
D. Penyaluran dana secara lebih merata
Ketidakmerataan yang terjadi antara pemerintah daerah di Indonesia sangatlah terasa. Pemerintah daerah terkaya menerima pendapatan per penduduk, 46 kali lebih tinggi dari yang diterima oleh daerah termiskin. Akibatnya, banyak daerah tidak dapat memberikan pelayanan publik pada tingkat yang layak.
E. Meningkatkan akuntabilitas lokal
Desentralisasi hanya dapat berjalan dengan baik jika pemerintah daerah dapat menunjukkan akuntabilitas pemerintahan mereka, baik kepada masyarakat daerah sebagai klien, dan juga pemerintah pusat sebagai atasan mereka. Pemilihan umum langsung para kepala daerah, sebagaimana yang dijabarkan pada revisi UU 22, merupakan suatu langkah maju. Kombinasi dari tersedianya informasi yang cukup, sistem pengawasan dan evaluasi yang baik, tersedianya basis pajak lokal yang lebih besar, serta adanya batasan dalam pembentukan wilayah baru, dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah, selain meningkatkan efektifitas desentralisasi.

Tidak ada komentar: